Novel Roy Passenger 14 hari Setelah Menikah (Sampel)
Bab 1
(Laras)
Mas Ariel memasuki tubuhku sedikit demi sedikit. “Kau suka?” Telapak tangannya mendorong pinggangku menindih paha. Tiba-tiba, Ia mendorong keras dan menghentak. Aaargh, Aku menjerit kesakitan, lubang itu penuh sesak.
“Berdarah gendut!” Ia mendorong lebih
dalam. “Aku tidak heran cewek sepertimu masih perawan.” Ia menarik dan
membenamkannya lebih dalam. “Tapi kau cukup sempit.” Ia menjambak rambutku,
menarik punggungku menempel di dadanya, melilitkan tangannya di leherku hanya
untuk berbisik, “Aku tidak akan sudi menikahimu kalau bukan karena uang.”
Mas Ariel mendorong tubuhku ke posisi
semula, menungging dengan posisi kedua kaki terlipat di bawah perut. Dia
menarik dan mendorong, menarik lagi dan mendorong lagi, sambil kedua tangannya
memegang hangat pinggangku. Suara becek itu muncul seirama dengan hantaman paha
berisinya.
Kenikmatan itu tiba-tiba menjalar di
sekujur tubuh, terbit dari bagian tubuhku yang telah disakitinya. Desahan
terbit di bibirku, tidak terlalu peduli dengan kalimatnya yang menyakitkan. Aku
mencintai Mas Ariel, sangat mencintainya, hingga aku rela memberikan apapun
yang kumiliki asalkan dia selalu bersamaku.
Tapi, Mas Ariel tidak mencintaiku. Ini adalah
kawin kontrak selama tiga puluh hari dengan bayaran lima ratus juta, dengan
perjanjian, dia akan menyetubuhiku setiap kali aku meminta. Aku mengenalnya
tiga tahun yang lalu, dia datang melamar pekerjaan ke kantorku. Mas Ariel yang
hanya lulusan SMA ini melamar menjadi supir pribadiku.
Berkali-kali, aku menggodanya dengan
iming-iming jabatan yang bagus, asalkan dia mau meniduriku tetapi selalu
ditolak. Mas Ariel lebih memilih menjadi supir daripada berhubungan badan
denganku. Tetapi, saat ini, Mas Ariel memerlukan uang untuk pengobatan adiknya
yang lagi sakit. Ia tidak punya pilihan lain. Mas Ariel menolak bercinta tanpa
pernikahan. Ia ingin kawin kontrak dan akan bercerai setelah tiga puluh hari.
Dan kami baru saja melakukannya tadi siang, dengan saksi-saksi orang bayaran,
karena Mas Ariel tidak mau satu pun dari teman dan keluarganya mengetahui
pernikahan ini. Itu semua karena aku bukanlah wanita yang menarik.
Wajahku menekan bantal sambil bibirku
mendesah semakin sering. Aku ingin sentuhan di payudaraku yang bergoyang, aku
ingin ciuman yang mesrah di bibirku, tetapi ia tidak akan pernah melakukannya.
“Mas, sedikit lebih pelan!” Ia mencakar kulit pinggangku untuk mendorong lebih
dalam.
“Ini tidak semudah yang kau pikirkan.
Lemak ini menggangguku.” Mas Ariel menampar pantatku. “Berbalik!” Ia membentak,
mendorong pinggangku dari sisi kanan, membuat tubuhku terjatuh menghadap
langit-langit kamar. Mas Ariel tersenyum mengejek, “Kau terlihat seperti
kura-kura.” Mas Ariel mendorong kedua kakiku untuk terlipat dengan telapak
bertumpu ke atas kasur dan membuat pahaku mengangkang, “Kau ingin melihat
wajahku saat memasukimu kan? Aku mengerti apa yang diinginkan wanita
sepertimu!” Mas Ariel mengocok sendiri miliknya, lalu menuntunnya ke dalam
diriku.
Kupejamkan mata, mengkhayalkan Mas Ariel
melakukannya dengan cinta, menghayalkan tubuhku menjadi langsing, menghayalkan
dirinya menindih dan mencumbu bibirku dengan nafsu.
Mas Ariel kembali menusuk, mendorongnya
kuat hingga mentok dan menabrak sesuatu di dalam diriku. Tangannya mengusap
kasar bagian atas lubangku, membuat mulutku melenguh panjang. Aku terus menutup
mata, berusaha menghadirkan sosoknya dengan kepribadian yang lain, kepribadian
yang jatuh cinta kepadaku.
“Kau menutup mata karena tidak percaya
betapa beruntungnya wanita sepertimu bisa merasakan ini?” Mas Ariel mengocok
semakin cepat, tangannya bertumpu di atas perutku, mendorong dan
mendorong lebih dalam. Kenikmatan menabrak liangku, seperti petir yang
bersahut-sahutan di dalam tubuh, seperti balon yang terisi sedikit demi sedikit
dan akan segera meledak. Ahhhh, aku tidak sanggup menahannya, kujambak sprei
sambil membayangkan wajah liarnya sedang tersenyum, kujambak lebih kuat sambil
membayangkan dadanya menindih dadaku. Balon itu semakin penuh dan semakin penuh.
Aku berteriak, kugoyang payudaraku yang tegang. “Massss!” Lubangku berkedut,
menjepit sesuatu yang yang tegang, menghimpit seperti hendak menelan.
Ahhhhh, Mas Ariel mendesah dengan mata
yang mengecil, “Kau keluar bangsat!” Goyangan itu tidak berhenti. Ahhhhh, Mas
Ariel semakin mendesah. Keringatnya berjatuhan, lubangku menarik kepalanya,
memijatnya dan hendak menelannya. “Aku tidak sudi keluar di tubuhmu.” Mas Ariel
menarik burungnya dan menyemprotkan sesuatu ke lantai, lalu Ia berjalan ke
kamar mandi, meninggalkanku yang hampir mati mengatur nafas.
Mas Ariel keluar dari kamar mandi,
mengambil dan memakai kembali celana pendeknya. Dia mengambil rokok dari atas
meja dan berjalan ke ruang tamu. “Masih mau nonton?” Aku bangkit dari
kasur, mengikutinya ke ruang tamu. “Aku tidur di sini!” Ucapnya sambil menunjuk
sofa.
“Aku membayarmu menjadi suamiku selama
sebulan untuk menemaniku tidur.”
“Kau salah. Di surat perjanjian itu hanya
tertulis berhubungan badan saat kau meminta. Tidak ada perjanjian yang mengatakan
kalau aku harus tidur di sebelahmu.”
“Mas Ariel, jangan begitu kenapa?”
“Jangan begitu bagaimana?” Ia bangkit dari
sofa, mengambil soda dari kulkas dan duduk kembali. “Aku tidak akan bisa tidur
sekamar denganmu. Lebih baik tidur dengan kerbau.”
“Kalau begitu aku ingin bercinta lagi.”
“Kau pikir aku robot. Masih untung
burungku bisa hidup. Kau tidur saja! Jangan membuatku marah. Kau tahu kan
bagaimana kalau aku marah?” Mas Ariel mulai melotot.
Aku menarik nafas yang panjang, masuk
kembali ke kamar dan menjatuhkan tubuhku ke kasur. Entah kenapa aku tetap
mencintainya meskipun dia selalu memperlakukanku seperti sampah. Entah kenapa
aku selalu berharap bahwa suatu saat nanti akan muncul cinta di hatinya
untukku. Kalau saja aku bisa memutar waktu, aku akan mengusirnya tiga tahun
yang lalu saat ia melamar menjadi supir.
Dulu, Awal-awal bekerja, Mas Ariel itu
tidak pernah menghinaku. Bahkan, dia pernah memukul seorang pria di pasar yang
menertawakan tubuhku yang gemuk. Dia juga pernah mencaci maki seorang perempuan
di salon karena menghina ukuran tubuhku. Dulu, dia sering berkata kalau aku
manis meskipun gemuk dan menyuruhku untuk tidak peduli pada ocehan orang.
Tetapi, pernah suatu waktu ban mobil bocor di tengah jalan saat hujan. Mas
Ariel turun untuk ganti ban. Lalu, dia masuk ke mobil. Dia melepaskan kausnya
yang basah. Aku menelan ludah puluhan kali mengamati lengan tangannya yang
kokoh. Ia memiliki dada yang bidang dan bertato, puting susunya merah pucat dan
perutnya rata berotot. Itu membuatku lupa diri. Waktu itu, aku berpikir kalau
Mas Ariel menyukaiku karena sering memuji kebaikanku. Tanpa pikir panjang, aku
langsung meraih resleting celana jeansnya dan meremas batangnya. Dia mendorong
kasar dan melotot. “Kau sudah gila?” bentaknya waktu itu.
“Mas Ariel, aku tahu kau menyukaiku. Kita
sudah sama-sama dewasa.” Aku mencoba meraihnya kembali dengan percaya diri.
Tiba-tiba, Mas Ariel meludahi wajahku. Aku memecatnya sore itu, mengusirnya
keluar dari mobil dan dia pulang naik taksi.
Selama seminggu lebih, aku memikirkannya
tanpa henti. Aku lelah sendiri dan memutuskan untuk menemui di kontrakannya.
Aku adalah majikan yang gila, majikan yang jatuh cinta pada supirnya, majikan
yang rela menyembah-nyembah sambil menangis supaya ia kembali mau bekerja
padaku. Sejak saat itu, dia menganggap diriku ini wanita murahan yang bisa
diperlakukan seenak hatinya. Terkadang, saat ia jauh dariku, aku bisa
melupakannya sesaat dan memikirkan betapa bodohnya diriku mau dihina-hina oleh
seorang supir. Aku sudah berencana untuk mengusirnya tetapi setelah melihat
wajahnya yang dingin, lagi-lagi, aku menelan kemarahanku sendiri.
“Tolong jangan tersinggung! Aku ingin
meminta satu hal bila kau tidak keberatan.” Ucapku suatu ketika setelah Mas
Ariel kembali menjadi supirku.
“Ngomong saja, tidak usah basa-basi!”
ucapnya sambil menyetir.
“Aku akan membayar sepuluh juta untuk
tidur semalam denganmu.”
Mas Ariel menatapku dengan mata yang
mengecil dan pipi yang naik sebelah, terkesan jijik dan kaget bersamaan. “Kau
pikir aku pelacur. Kalau aku mau melacur, banyak tante yang akan memberikan
ratusan juta sekali main denganku.”
Aku memintanya beberapa kali. Aku
melakukan itu karena setiap malam aku selalu terbayang bisa memeluk tubuhnya
yang dingin. Setiap malam, aku selalu terbayang berada di bawah tatapan matanya
yang kasar. “Aku akan bayar satu juta, bila kau membiarkanku menghisapmu!”
Ucapku beberapa bulan setelah ia menolak tidur denganku.
“Kenapa kau tidak bayar gigolo saja? Mau
kau bayar satu miliar pun aku tidak sudi berhubungan intim denganmu. Kau tidak
mengetahui seberapa buruk dirimu. Kalau kau tidak menyembahku untuk bekerja
lagi, aku tidak akan pernah mau menjadi supirmu lagi. Malu punya majikan
sebesar kerbau. Teman-temanku selalu curiga kalau aku berhubungan intim
denganmu.”
Apa yang Ariel ucapkan itu bukan hanya
isapan jempol belaka. Dia pernah meminjam uangku sepuluh juta untuk membayar
biaya pengobatan teman satu kontrakannya. Ia menikam orang itu dengan pisau
hanya karena menuduhnya menjual diri padaku. Satu bulan kemudian, setelah ia
meminjam uang itu, aku menatapnya di dalam mobil sewaktu pulang dari kantor,
“Aku akan menganggap lunas hutangmu, tapi biarkan aku mencium bibirmu sekali
saja!” Tiba-tiba, Mas Ariel menghentikan mobil. Kupikir Mas Ariel setuju,
rupanya dia mengepalkan tangan, menahan marah dan meludahi wajahku. Besok
paginya, dia memberikan uang sepuluh juta yang ia pinjam.
“Darimana kau dapat uang?”
“Aku terpaksa melacur.”
“Dimana?”
“Kau tidak perlu tahu. Meskipun sudah
kepala empat, wanita itu kurus dan masih cantik tidak seperti dirimu.”
“Aku tidak bertanya apakah dia kurus atau
cantik.”
“Kalau begitu, kau diam saja. Hutangku
sudah kubayar. Aku lebih baik melacur daripada harus bersentuhan dengan
bibirmu.” Mas Ariel mengendarai mobil ke kantor dengan wajah muram. Terkadang
saat-saat seperti itu, aku ingin sekali turun dari mobil dan naik taksi,
meskipun mobil itu adalah mobilku sendiri.
Dan malam ini adalah malam pertamaku. Ada
sedikit kebahagiaan di sela-sela hatiku yang terbakar. Paling tidak, orang tua
yang mengenal dan bertemu denganku tidak akan bertanya lagi kenapa aku belum
menikah. Dan kalaupun aku mati sekarang, aku sudah mendapatkan apa yang ku
impikan selama ini. Meskipun tidak seindah yang kubayangkan karena Mas Ariel
menyetujui menikah denganku dengan banyak syarat: aku tidak boleh
menyentuhnya, aku tidak boleh memberitahu teman-temannya kalau kami
menikah, aku tidak boleh meminta apapun saat bersetubuh dan bersetubuh dianggap
usia setelah ia mencapai klimaks.
Aku tersenyum pahit pada diriku sendiri, buru-buru
menghapus air mata yang menetes di pipi. Entah kenapa aku terlahir sebesar ini.
Aku sudah gemuk sejak lahir. Aku sudah melakukan banyak cara untuk menjadi
kurus, semua cara telah kucoba sampai menyiksa diri dengan diet ketat selama
bertahun-tahun, tetapi tidak ada satupun yang berhasil. Sekarang, berat badanku
95 kilogram dengan tinggi 165 sentimeter. Aku benar-benar tidak memiliki daya
tarik sama sekali. Sejak SD aku tidak pernah pacaran dan hanya baper
mendengarkan kisah-kisah cinta temanku yang manis.
Kalau saja, keluargaku tidak punya
uang untuk membuka toko batik beberapa tahun yang lalu setelah aku wisuda,
mungkin tidak akan ada seorang pun yang mau menerimaku bekerja di perusahaan
mereka. Untungnya, aku memiliki keberanian yang cukup untuk membuka toko batik.
Lima tahun kemudian, aku membuka empat cabang, di Bandung, Bali, Jogja dan di
Medan. Sekarang, aku bekerja sama dengan pabrik-pabrik batik Raksasa di
beberapa kota dan memiliki toko online batik yang sangat terkenal. Aku
memulai itu semua dengan kerja keras, bermodalkan uang lima puluh juta
pemberian Ayah sebelum ia meninggal. Aku tidak bodoh bila berhadapan dengan
dunia liar, tetapi bila sudah menyangkut perasaanku kepada Mas Ariel, aku
menjadi manusia yang paling bodoh. Aku menyadari hal itu tetapi tidak pernah
sanggup memperbaikinya. Cinta telah menguras habis logikaku.
Sanggupkah aku bertahan?
Sanggupkah aku menggenggam cinta yang
selalu menyakiti diriku sendiri? Aku hanya berharap cinta ini tidak bertepuk
sebelah tangan.
Hari Ke-2
(Laras)
Aku terjatuh di kamar mandi dan menjerit
kuat karena kaget, laba-laba terjatuh ke tanganku saat aku sabunan. Aku
terbaring di lantai yang basah dan pintu terbuka. Mas Ariel bukannya menolong
malah tertawa dan pergi begitu saja. Berat badan ini membuatku sulit untuk
berdiri, kutangkap dan ku genggam kuat sudut bak kamar mandi, butuh satu menit
untuk bisa berdiri kembali di bawah shower.
“Kau benar-benar tidak punya hati.” Aku
menghampirinya setelah mandi. Mas Ariel main PlayStation yang kuberikan sebagai
syarat menikah. Mas Ariel tidak menoleh, tetap sibuk main game sambil menghisap
rokoknya. “Babi saja bisa mandi dengan benar!” ucapnya dengan suara yang tidak
jelas.
Aku mengepal tangan, ingin berteriak
marah, tiba-tiba ia menoleh dengan mata hitamnya dan alisnya yang panjang di
wajah yang manis tapi sangar itu. Lagi dan lagi, aku luluh dan malah jatuh
cinta. “Aku ingin bercinta!”
“Kau tidak boleh menyalah gunakan
perjanjian itu untuk memperbudak aku. Bercinta lah yang wajar ,satu kali
sehari. Burungku masih ngambek, dia marah besar dimasuki ke lubang yang tidak
ia kehendaki.” Tiba-tiba, dia meletakkan stick game dan bangkit berdiri.
“Aku mau mandi. Kita ke mall hari ini kan? Aku ingin beli sesuatu.”
Jam sepuluh pagi, Aku dan Mas Ariel
berkendara ke Mall. Aroma tubuhnya harum, mengenakan kaus biru tanpa lengan
yang membuat otot dan bulu ketiak-nya yang manis menggoda mata. Dia memakai
celana pendek berwarna putih dan sepatu sport Nike yang semuanya adalah
pemberian ku. Mas Ariel memang menawan, sungguh sangat menawan, tidak ada yang
akan percaya kalau dia hanyalah seorang supir. Ia seperti aktor berpenghasilan
tinggi. Kulitnya tidak putih tetapi tidak terlalu hitam, dia sangat laki,
sangat laki sekali, hingga ketika dia menatap mata, hormon testosteron seolah
membanjiri tubuhnya, mengikat hormon estrogen yang memenuhi jiwaku.
“Matamu!” Bentaknya sambil menginjak gas.
Aku langsung salah tingkah dan menatap
ke jalanan di depan. Mas Ariel tidak memperhatikan penampilanku, padahal
aku sengaja mengenakan dress hitam berbahan katun yang tipis, yang menyatu
dengan rok sampai atas lutut. Walaupun tubuhku tidak menarik, tapi saat
berpakaian hitam seperti ini, aku berharap Mas Ariel tidak jijik dan tidak malu
berjalan di sebelahku.
“Apakah bajuku terlihat terlalu seksi?”
“Bajumu terlihat tersiksa. Mereka pasti
telah merasa dikutuk menjadi milikmu.”
“Kau suamiku, walaupun hanya suami
kontrak. Apakah kau tidak pernah berpikir untuk sekali saja memujiku?”
“Untuk apa memuji? Kita punya cermin besar
di rumah.”
Setelah mobil parkir, Mas Ariel menatap
wajahku di dalam mobil. “Aku pengen beli kaset PlayStation sama sepatu.” Mas
Ariel mengulurkan tangan untuk meminta uang.
“Tidak usah. Nanti biar aku saja yang
bayar.”
“Berikan saja! Nanti kalau ada sisa aku
pasti balikin.”
“Berapa emang?”
“Kalau tidak bisa, bilang tidak bisa.
Supaya kita pulang.”
“Mas, aku tanya berapa! Aku tidak bilang
tidak bisa loh!”
“Astaga! Baiklah.” Mas Ariel tiba-tiba
menghidupkan mobil dan hendak keluar dari area parkiran. “Loh, Mas, bukannya
mau beli kaset?”
Pipi Mas Ariel gemetaran, bibirnya
mengerucut, tangannya tegang dan gerakan tubuhnya terkesan mendadak seperti
orang marah.
Aku tidak mengerti cara berpikirnya.
Aku sama sekali tidak menolak. Hanya
bertanya berapa dan dia tiba-tiba marah. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Aku tidak mau Mas Ariel semakin membenciku. “Mas, aku minta maaf yah! Aku
benar-benar minta maaf!” ucapku sebelum mobil keluar dari parkiran.
Mas Ariel menoleh kesal. Lalu memundurkan
mobil untuk parkir di tempat semula. “Berapa?” Aku bertanya kembali setelah
mobil berhenti.
“Berikan kartu atm-mu! Aku tidak tahu
berapa harganya.”
“Jangan begitu! Aku tidak bisa memberikan
kartu atm. Nanti aku bayarin bagaimana?”
Kelopak matanya terbuka lebar. “Dasar
Babi!” umpatnya sambil membuka kasar pintu mobil dan melangkah cepat ke arah
mall.
Aku menarik nafas yang dalam, jangan
menangis, jangan menangis, ucapku berkali-kali pada diriku sendiri. Aku
menyusulnya, berjalan pelan dengan beban tubuhku yang sudah semakin berat. Aku
berharap petir menyambarku di atas gedung ini, dan membuat tubuhku hangus, dan
sekalian menghanguskan perasaan ini. Aku ingin angin yang kuat tiba-tiba
berhembus dan melemparkanku jatuh ke bawah, memecahkan tubuh gemuk ini,
sekalian memecahkan perasaan ini.
“Cepat!” Mas Ariel berseru dari depan
lift. Aku membuang muka, berusaha menunjukkan bahwa aku sangat kesal dipanggil
babi olehnya. Mas Ariel tidak peduli dan masuk ke lift. Kami masuk ke
Supermarket, “Jangan mengikutiku! Nanti setelah aku ke kasir baru kau datang.”
Ia berbicara pelan seolah takut didengar orang. Aku mengangguk setuju.
Mas Ariel mengambil troli dan berkeliling.
Tidak ingin belanja apapun, aku berjalan keliling tanpa tujuan, terkadang
melihat harga barang. Sesekali aku mengawasi sosoknya, siapa tahu sudah
selesai, pikirku.
Saat aku melewati rak kain, mataku tertuju
pada celana dalam pria bermerek, kuputuskan untuk mengambil tiga. Kupikir,
pinggang Mas Ariel yang berisi akan sangat seksi mengenakan celana dalam itu.
Setelah memegang tiga celana dalam, aku kembali keliling sambil mengamati Mas
Ariel. Saat aku berada di rak susu, aku melihat susu formula pria dan mengambil
satu. Mas Ariel terkadang suka olahraga di gym dan sepertinya dia memerlukan
susu ini. Aku terpaksa mengambil troli, mengisinya dengan sepatu bola
hijau, Jersey, lima buah voucher google play masing-masing lima ratus ribu
karena Mas Ariel setahuku juga main game online.
Hampir satu jam aku sibuk sendiri memilih
barang-barang. Mas Ariel tiba-tiba menghampiriku. Sekilas dia melirik troli di
depanku, “Kau masih memerlukan waktu?”
“Tidak. Aku sudah selesai.” Jawabku.
“Masukkan saja ke sini, biar aku yang bayar sekalian.” Ucapku. Sekali lagi. Mas
Ariel melirik troli belanjaanku, memasukkan sepatu bola seharga tiga juta dua
ratus dan empat kaset PlayStation yang masing-masing seharga empat ratus ribu.
Mas Ariel tidak mengikutiku ke kasir. Setelah aku selesai bayar, dia sudah
tidak ada. Aku mengangkat semua belanjaan itu dan berjalan ke arah parkiran.
Mas Ariel sudah menunggu di dalam mobil.
“Tolong buka bagasi-nya!”
Mas Ariel tidak menjawab dan bagasi
terbuka. Setelah masuk ke mobil, aku membersihkan wajah yang terasa basah
dengan tisu. “Kita kemana lagi?” tanyaku.
“Aku mau pulang, pengen nyobain game
baru.” Mas Ariel bersemangat menghidupkan mobil dan pulang ke rumah. Sampai
dirumah, aku langsung meninggalkan mobil, masuk ke kamar dan mengecek statistik
toko online. Hari ini, toko lumayan laris, ada peningkatan statistik lima
persen dibanding hari minggu lalu.
Aku keluar dari kamar dan berjalan ke
sofa. Mas Ariel yang duduk di karpet terlihat panik melemparkan plastik
belanjaan. Dia pasti sedang memeriksa apa saja yang aku beli untuk dia, dia
senang mendapatkan semua barang-barang itu – bisa terlihat dari aura wajahnya.
Aku bahkan tidak ingat untuk membeli satu pun keperluanku. Selama di
supermarket yang ada dipikiranku hanya Mas Ariel saja.
“Thanks.” Ucapnya sambil bermain game
tanpa menoleh.
Bola mata berputar otomatis karena merasa
aneh. Ini pertama sekali, dia mengucapkan thanks lagi setelah kejadian aku
meremas burungnya waktu ban bocor itu. Aku tidak menjawab dan berjalan ke
kulkas untuk mengambil air mineral. Lalu duduk di sofa, menonton Mas Ariel yang
sedang asik bermain game.
“Bisakah main berdua?”
“Jangan.” Mas Ariel menjawab singkat,
menghisap rokoknya dan memandang sekilas ke belakang. Aku tidak tahu apa yang
dia pikirkan, tapi, tiba-tiba menarik kaos tanpa lengannya dan menggerakkan
tubuhnya maskulin, memamerkan punggungnya yang kokoh. “Aku akan senang bila kau
mengusap punggungku!” ucapnya tiba-tiba.
Itu membuat darahku terjun bebas, mengusir
semua kekesalan dari hatiku dan menggantinya dengan kasih sayang. “Kau
kelelahan?” tanyaku pura-pura.
“Hem,” Ia hanya berdehem, sambil terus
mengontrol gamepad di tangannya.
Buru-buru, aku turun dari sofa, duduk
lesehan melipat kaki di sampingnya. Aku mengusap punggungnya yang hangat sambil
melihat permainan di televisi. Waktu berputar cepat bila aku sedang berduaan
dengannya seperti ini.
***
Jam sepuluh malam, aku melepaskan semua
pakaianku. “Mas, aku sudah siap!” ucapku sambil berdiri di pintu.
“Iya, aku kesana sebentar lagi!” Mas
Ariel berdiri.
Buru-buru, aku merebahkan diri di kasur.
Ada yang aneh dengan dirinya, mungkinkah Mas Ariel sudah luluh padaku? Dia
berdiri di depan kasur, melepaskan celananya dan mengocoknya sambil menatap
wajahku.
“Kau sudah siap?” Ia bertanya.
Aku menganggukkan kepala.
Mas Ariel mendekat, menuntunnya ke dalam
diriku. Satu kali hentakan, ia memasukkannya begitu dalam, Ia mendorong kakiku
untuk terlipat, memegang kedua lututku dan menggoyang pantatnya sambil menatap
wajahku.
“Mas, enak sekali!”
“Sudah, jangan banyak bicara, nikmati
saja!”
“Baik, Mas, tapi Ahhh, enak sekali,”
Beberapa kali, Mas Ariel menarik dan
mendorong menghentak, membuatku mendesah panjang. Dia sepertinya menyukai
desahanku, dia sepertinya sudah mulai menyukai wajahku. Aku membuat wajahku
penuh birahi untuk memancingnya lebih berani. Mas Ariel menusuk dan terus
menusuk, hampir setengah jam lamanya. Dia sampai berkeringat, dan sesekali menatap
wajahku sambil mengerucutkan bibirnya yang bernafsu. Tiba-tiba dia berhenti,
“Aku sudah lelah. Aku tidak akan bisa keluar.”
“Biarkan aku menghisapnya!”
“Tidak usah. Tunggu sebentar!” Dia
meninggalkan kamar dan muncul kembali memegang handphone. Dia memutar video
bokep seorang gadis telanjang dan meletakkannya di atas perutku. Dia kembali
bergoyang sambil mengamati video itu. “Ahhhhhh,” Mas Ariel mendesah panjang,
menekan telapak tangannya ke lututku. Buru-buru, Ia menarik penisnya dan
membuang spermanya ke lantai.
“Maaf! Aku terpaksa melakukannya!” ucap
Mas Ariel sambil mengambil handphone dari perutku. Melihatnya merasa bersalah
begitu membuat hatiku berbunga-bunga, “Tidak apa-apa.” Jawabku pahit.
Mas Ariel masuk ke kamar mandi dan pergi
ke ruang tamu. Aku terpaksa menyentuh diriku sendiri karena belum puas. Aku
sengaja mendesah panjang, berharap Mas Ariel kembali dan membantu. Tetapi, itu
hanyalah keajaiban dunia bila benar-benar terjadi. Dia bercinta denganku hanya
karena syarat bukan karena benar-benar menginginkanku.
Hari Ke-3
(Ariel)
Aku tidak menginginkan pernikahan ini.
Laras yang memaksa untuk menikah dan memberikan uang 500 juta. Dan bodohnya si
gendut itu langsung memberikan total 500 juta dua hari sebelum pernikahan.
Kalau saja Andini, adikku, tidak sedang sakit, aku tidak akan pernah mau
menikah dengannya. Aku harus mengorbankan harga diriku, menikah dengan wanita
buruk rupa, tidak memiliki daya tarik sedikitpun. Burungku saja lebih gampang
hidup bila melihatnya pakai baju dan membayangkan diriku sendang masturbasi di
depan seekor kerbau, itu jauh lebih mudah daripada menyadari keberadaannya.
Aku tidak boleh terlalu percaya pada
orang. Laras memang selalu bersikap baik sampai sekarang, tetapi aku yakin,
kalau saja aku memberikannya sedikit cinta, dia pasti akan menginjak-injak
harga diriku. Aku tidak mau itu terjadi. Semoga saja pernikahan ini cepat
berlalu, aku tidak akan sudi lagi berdekatan dengannya. Aku akan mencari
pekerjaan baru. Teman-temanku sudah mulai curiga kalau aku menjual diriku pada
perempuan berbadan besar yang merupakan bosku sendiri. Demi apapun, aku tidak
mau dicap sebagai pria mata duitan, yang menikahi wanita paling jelek sedunia,
hanya demi uang.
***
Aku bangun jam enam pagi, sudah
mandi dan sudah siap untuk berangkat kerja. Walaupun, aku sudah menjadi suami
dan fakta yang harus kuterima adalah istriku buruk rupa, aku tetap profesional.
Aku tetap bangun pagi dan bersiap untuk melakukan tugasku, mengantarkannya ke
kantor. Tapi, dia malah bangun jam sepuluh siang.
“Nggak kerja?” Aku bertanya setelah Laras
keluar dari kamar.
“Kita kan baru menikah Mas. Aku ingin
menikmati satu minggu ini berduaan denganmu.”
Preet, untung di LO.
Aku pasti akan mati kehabisan oksigen bila
harus berduaan terus dengannya selama seminggu. Laras duduk di sofa, aku
menahan diri supaya tidak tertawa, merasa kasihan pada kaki sofa yang
menjerit-jerit setiap kali Laras duduk.
“Terus kita kemana. Masa di rumah saja?”
“Kita bulan madu aja yuk, Mas!”
“Bulan Madu?” Sumpah, kerbau ini
benar-benar tidak tahu diri.
“Kita habisin seminggu di Bali. Mau
nggak?”
“Ngapain di Bali? Kau saja yang pergi
sendirian. Aku di rumah saja.”
“Lah, tadi kan, Mas nya sih yang komplain
kalau di rumah saja.”
Nyalahin AKU lagi kan ni si Bangke? Kalau
sudah begini, Aku jadi malas berbicara dengannya. Aku sudah tidak mau berurusan
dengannya. Aku duduk di karpet menghidupkan PlayStation dan melupakan
betapa sedihnya hidupku harus menikah dengan wanita ini.
“Temani aku ke salon yuk?”
Dari Bali pindah ke Salon.Tapi ya
sudahlah. Toh ini adalah pekerjaanku yang sebenarnya, SUPIR. Dan aku lebih
menyukai titel itu daripada menjadi SUAMI wanita gendut.
“Ayo!” Nafasku sampai sesak karena
tingkahnya.
Setelah sampai di depan Salon. Laras
menatap wajahku.
“Ayo!”
“Aku nunggu di mobil saja. Lama nggak?”
“Seperti biasa. Bisa berjam-jam loh.”
“Aku mutar-mutar saja yah. Aku pasti bosan
menunggu di situ.”
“Mas ikut perawatan aja.”
“Anjing, emang aku?”
Oke-oke, aku memang berkata kotor, tapi
tidak usah juga kali pura-pura buat wajahnya sedih begitu.
“Mas muter-muter kemana?”
Kepalaku gatal sekali. Entah bagaimana
perempuan OON seperti ini bisa jadi kaya raya. Otaknya nyungsep.
“Belum, tahu. Yang penting bukan di sini.”
“Butuh duit nggak?”
Ini ni sifat paling ngesalin dari Laras.
Dikit-dikit Uang. Dia selalu berpikir segala sesuatu itu bisa dibeli dengan
uang. Kalau saja aku menceritakan semua kebodohannya, orang pasti tidak
percaya. Tidak akan ada satu orang pun di dunia ini yang percaya kalau dia
pernah mau membeli harga diriku sepuluh juta. Dia pernah berkata menjijikkan
begini padaku, “Aku berikan sepuluh juta, tapi biarkan aku menghisapmu.”
ANJIRRR, aku selalu merinding kalau mengingatnya.
“Kalau mau ngasih ya nggak nolak. Tapi,
aku nggak NGEMIS loh.” Dia harus tahu itu. Harus!.
Dia memberikan beberapa lembar uang
seratus ribuan. Aku langsung menghilang dari situ. Kapan lagi ya kan bisa
jauh-jauh dari kerbau ini. Aku sudah hampir gila dua puluh empat jam berdekatan
dengannya.
Aku sebaiknya menjenguk adikku, Andini
dulu. Jadi Aku bergerak ke rumah sakit di Jakarta Selatan.
“Bagaimana keadaanmu?” Aku mengelus
rambutnya. Kasihan Adikku, dia harusnya masih menikmati masa-masa kuliah,
tetapi harus berbaring di rumah sakit karena kanker serviks.
“Kak Ariel, terimakasih banyak ya, Kak!”
“Nggak usah dipikirin. Sekarang yang harus
kamu pikirkan adalah bagaimana caranya untuk tetap semangat dan sembuh
secepatnya. Kasihan Mamak harus menemanimu 24 jam di sini. Masalah uang tidak
perlu kalian pikirkan. Aku akan bekerja keras untuk itu.”
“Ariel!” Ibu memanggil dan membawaku ke
luar ruangan. “Ibu masih pengen tahu, Nak. Uang untuk operasi adikmu itu
darimana?”
“Itu dari donatur di facebook, Mak. Aku
bikin halaman sumbangan dan menceritakan kondisi Andini. Banyak orang yang mau
berdonasi. Pokoknya masalah uang Mamak jangan pikirkan. Ini, aku juga bawa uang
untuk Mamak.”
“Aduh, kamu pegang saja. Uang yang lima
ratus juta kemarin masih banyak sisanya.”
“Baiklah. Pokoknya Mamak jangan mikirin
apapun. Fokus kita adalah untuk kesembuhan Andini. Bukan bersedih!”
“Anak, Mamak!”
Ah, aku tidak suka bersedih begini. Tapi
Mamak memeluk dan mengusap punggungku sambil menangis dan itu membuat air
mataku hampir menetes. Aku sayang Mamak dan Andini. Aku ingin membahagiakan
mereka meskipun harus mengorbankan diriku sendiri.
Dua jam di rumah sakit sudah cukup puas
berbicara dengan Andini dan Mamak. Aku pulang ke Salon dan Laras belum selesai.
Dipikirnya kalau dia berlama-lama di Salon akan jadi cantik. Itulah bodohnya
wanita yang satu ini, kenapa susah sekali menerima kenyataan kalau dia memang
sudah tercipta buruk seperti itu. Aku sudah menunggu satu jam di depan tetapi
ia belum selesai juga. Masa bodoh! Aku tidak mau lagi membuang waktu untuk
menunggunya. Aku kirim sms dan memintanya untuk naik taksi saja. Aku pulang ke
rumah dan duduk dikarpet untuk main game.
Belum lima menit, Handphone tiba-tiba
berdering. Pasti Laras nih minta dijemput. Ternyata aku salah, itu Debora,
teman satu SMAku dulu.
“Halo!”
“Halo Mas Ariel. Mas dimana?”
“Di rumah, kenapa?”
“Mas sibuk nggak?”
“Nggak Kenapa?”
“Mas bisa bantuin aku nggak?”
Cewek belibet amat sih. “Ngomong aja
kenapa, nggak usah muter-muter!”
“Mas bisa nggak aku pinjam duitnya lima
ratus ribu. Aku lagi butuh amat. Gaji Ku kemarin kuhabiskan untuk beli obat
Bapak dan ku kirim semua ke kampung. Aku mau bayar kontrakan. Please Mas Ariel,
setelah gajian aku akan langsung balikin. Kalau nggak bayar aku akan diusir.”
“Iya, nggak usah nangis. Diam! Kau di
kontrakan?”
“Beneran bisa? Iya, Mas. Aku di
kontrakan.”
“Sssst, Nggak usah nangis bodoh! Aku kesana
sekarang!”
Aku mengirimkan sms dulu pada si Laras.
Dia pasti akan ribet setengah mati bila tidak menemukanku di rumah. Aku ke
Bekasi, Darurat! Mungkin pulang malam! Ucapku melalui SMS dan Ia tidak
balas. Ia pasti kesal dan tidak mau nanya untuk apa aku ke Bekasi. Itulah
bodohnya cewek, sok diam-diam, padahal mikirin untuk apa aku ke Bekasi. Apa
susahnya nanya coba? Tinggal ngetik doang, ke Bekasi mau ngapain? Aku pasti
akan jelasin kok.
“Bapakmu sakit?”
“Iya Mas. Dia harus rutin minum obat.
Gila, obatnya tiga juta lima ratus untuk sebulan. Untung saja aku sama Bang
Derat bisa gantian.”
“Bikin kopi lah!”
“Eh, sampai lupa. Bentar ya Mas!” Debora
pergi ke dapur untuk bikin kopi. Dia hanya bikin satu dan aku langsung
menyeruput tipis. Gila kali ni cewek, nggak ada gulanya. Waktu aku menatap
heran wajahnya setelah mencicipi kopi itu, dia malah menunduk.
“Astaga, nggak ada gula yah?”
Dia menunduk malu.
Aku bangkit dan membeli dua kilo gula dari
warung dekat kontrakannya.
“Kenapa harus dua kilo. Mending beli gas.”
“Gas juga habis! Ya Ampun Debora, kalau
aku tidak datang kau mati kali yah?” Kuambil dompetku dan kuberikan lima ratus
ribu lagi. Dia langsung menangis memelukku.
“Jangan menangis!” Aku mendorongnya.
“Jangan lemah!”
“Iya Mas. Aku benar-benar tidak tahu harus
berbuat apa untuk membalas kebaikan Mas Ariel.”
Tiba-tiba dia menatap aneh wajahku.
Debora ini sangat manis, wajah dan fisiknya tidak jauh-jauh amat sama cewek
jepang teman Pak Sugiono. Ditatap begitu, burungku yang selama ini ngambek
masuk lubang busuk langsung nganceng. Dan tiba-tiba, tangan Debora pindah ke
atas resleting celanaku. Dia mengusap penisku sambil menatap wajahku. Sumpah,
nyesak bangat ni burung. Tapi, selain karena aku sudah janji sama Laras selama
kawin kontrak tidak bisa main dengan perempuan lain, aku juga tidak ingin
merusak teman satu SMAku ini. Jadi, aku mendorong halus tangannya.
“Kau melakukannya untuk berterima kasih?”
Dia mengangguk setuju dan menunduk malu.
Aku menarik dagunya supaya dia menatap wajahku. “Aku tidak masalah kalau kau
melakukannya karena suka. Tidak masalah seandainya kau berhubungan badan dengan
banyak pria karena kau suka. Tapi jangan pernah mau melakukan hal itu karena
terpaksa. Apalagi karena baru ditolong orang!”
Dia mengangguk setuju sambil menghapus air
matanya. Udah gatal amat nih burung. “Aku pulang saja yah!” Aku menghabiskan
kopi dan memutuskan untuk pulang lebih cepat dari rencanaku sebelumnya.
Aku sampai dirumah jam empat sore. Laras
duduk di sofa pakai baju hitam. Rambut sepunggungnya terurai hitam mengkilat,
menghiasi wajahnya yang bundar seperti pantat kerbau. Entah apa yang dia
pikirkan. Laras bangkit berdiri, membuang muka, seperti mau mengambil sesuatu
dari kulkas, seperti memamerkan bokongnya. Aku berjalan cepat, menarik dan
mendorongnya ke sofa.