Baca Novel Romantis Terbaru Roy Passenger Pistol Bapak
Prolog
Temanku di sekolah namanya Nuhalijah, suka
duduk di bawah meja dan memegang pergelangan kaki. Semua siswa dan guru sudah
mengetahui kebiasaannya itu. Bila dia sedang emosi atau ketakutan, ia akan
mendatangiku. “Nariah, boleh aku memegang kakimu?” Setelah aku menganggukkan
kepala, dia akan masuk ke bawah meja dan memegang pergelangan kakiku sampai
lima menit, terkadang sampai satu jam, terkadang sampai habis satu mata
pelajaran dan berganti guru.
Lisa teman dekatku berkata kalau
Nurhalijah pasti sakit mental dan berbahaya. Sedangkan Padri ketua kelas kami
berkata kalau penyakit aneh Nurhalijah itu adalah kutukan karena ibunya
berjualan kaki ayam.
Bab 1
“Sudah
lima hari Nurhalijah tidak masuk kelas. Adakah di antara kalian yang rumahnya berdekatan?”
Tanya Pak MN wali kelas.
Tidak ada yang tunjuk tangan. Semua mata
melihat ke arah Nariah.
Rumah Nariah dan rumah Nurhalijah itu
berjarak dua kilometer, rumah yang paling dekat bila dibandingkan dengan siswa
lain.
“Nariah, apakah kamu bisa mampir ke sana setelah
pulang sekolah?”
“Bisa Pak!” Jawab Nariah.
Sepulang sekolah, Nariah mengunjungi rumah
Nurhalijah yang terbuat dari papan. Bagian depan rumah tertutup teras yang
ditumbuhi daun menjalar, seperti tumbuhan markisah. Halamannya basah dan berbau
aneh, seperti bau pasar. Ada banyak ember dan kuku ayam berserakan di
mana-mana.
Nariah mengetuk pintu beberapa kali tetapi
tidak ada jawaban. “Nurhalijah, Bu Tarso!” Ia memanggil sampai berteriak,
tetapi tidak ada jawaban.
Nariah hampir naik motor untuk pulang,
tiba-tiba, pintu rumah terbuka. Yang buka adalah seorang pria yang tinggi,
mungkin sekitar 175 sentimeter, usianya sekitar 21 atau 22 tahun. Rambutnya
pendek dan basah. Ia memakai kaus singlet putih yang ujungnya dimasukkan ke
dalam celana joger hitam. Ia mengenakan sepatu all star hitam.
Nariah belum pernah melihatnya. Mungkin
dulu waktu kecil, ia pernah melihatnya, tapi sudah lupa. Nariah memang lebih
sering mengurung diri di rumah, jadi tidak mengherankan bila Ia tidak mengenal
banyak orang di desa itu.
Sejak pertama sekali melihat Will, Nariah
langsung mencium aura keras di wajahnya, Tatapan matanya yang seolah ingin
memakan Nariah hidup-hidup. Gayanya mengerutkan kening dan matanya yang
mengecil seperti sedang mencari jarum di wajah Nariah. Will seperti pria yang
bisa mengetahui apa yang sedang Nariah pikirkan sebelum mengatakan apapun.
“Nurhalijah nya ada?”
Will tidak langsung menjawab, tapi
mendekat dan menatap wajah Nariah dari jarak sejengkal, seolah mengendus bau.
“Perlu apa dengan Nurhalijah?” Suara Will
lambat dan dalam.
“Aku teman sekelasnya. Guru menyuruhku
untuk melihat keadaannya.”
“Bilang sama gurumu. Nurhalijah sudah mati
dan sudah dimakan oleh ibu dan kakaknya.” Will melotot menakutkan. Lalu
berbalik melangkah ke rumah, menutup kasar pintu.
Jantung Nariah sepertinya sudah pecah,
kakinya gemetaran dan pengen pipis sangking takutnya. Buru-buru, Nariah naik ke
motor dan mengebut pulang ke rumah.
***
Sekolah Nariah berada di atas tanah yang
datar. Sekolah itu berbentuk huruf U dan membelakangi jalan raya. Di bagian
belakang adalah taman yang ditumbuhi puluhan pohon Mahoni besar. Akar-akar
pohon itu bersahabat dengan Lisa, karena ia suka membaca buku di sana. Itu yang
Lisa katakan ketika Nariah menggosokkan lumpur dari telapak sepatu ke akar itu.
Setelah parkir, Nariah masuk melalui
gerbang dan melangkah kikuk ke dalam kelas. Jangan sampai ada yang menyadari
apa yang sedang kusembunyikan,pikirnya. Tetapi Lisa itu juara satu, tentu saja
ia bisa membaca gerak-gerik Nariah yang tidak biasa.
“Bibirmu kenapa? Apakah Nurhalijah
memukulmu?” Lisa bertanya. Teman sekelas langsung berkerumun mengelilingi
Nariah.
“Aku tidak apa-apa. Hanya terpeleset.”
Jawab Nariah berbohong, pura-pura sibuk membuka tas dan menarik buku dan
pensil.
“Tunggu, biarkan aku melihat lebih dekat!”
Padri memakai kacamatanya dan memperhatikan bibir Nariah. “Ada bekas gigi di
atas bibirmu. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Ini, kalian perhatikan!” Padri
menunjuk.
“Apaan sih!” Gertak Nariah sambil menampar
tangan Padri. Nariah melotot marah ke mereka semua. Itu satu-satunya cara untuk
menyuruh mereka kembali ke kursinya masing-masing.
“Kau baik-baik saja?” Kening Lisa
berkerut.
“Iya.” Jawab Nariah kecut.
“Terus bagaimana dengan si Nurhalijah?”
Nariah belum sempat menjawab, Pak MN, wali
kelas, masuk dan menghampiri. “Bagaimana? jadi menjenguk Nurhalijah kan?”
Kelas langsung diam. Mereka sepertinya
sangat penasaran akan Nurhalijah. Nariah menarik nafas yang dalam,
menatap wajah Pak MN dengan tidak meyakinkan, “Kata Kakaknya, Nurhalijah
sudah mati dan sudah dimakan oleh Ibu dan kakaknya itu.”
Pak MN melotot bingung, menatap Nariah
seperti teka-teki silang, “Jangan bercanda Nak!”
“Aku tidak bercanda Pak...,” Nariah menjelaskan
semuanya, mulai saat sampai di depan rumah hingga bertemu dengan Will, manusia
arogan itu.
Nariah tidak pulang ke rumah sehabis
sekolah, tetapi pergi ke pasar, tempat ibu Nurhalijah berjualan. Ia ingin
bertemu dengannya untuk memastikan keadaan Nurhalijah.
Nurhalijah mungkin dalam kondisi yang
tidak baik. Mungkin, ia senasib denganku, terlahir di keluarga yang egois,
pikir Nariah.
“Sudah tuli kah telingamu? Sudah kubilang
aku tidak tahu, masih saja bertanya.” Bentak Bu Tarso, Ibu Nurhalijah, setelah
Nariah memaksanya untuk memberitahu dimana Nurhalijah.
“Ibu kan Ibunya, masa Ibu tidak tahu
dimana anak Ibu berada?” Nariah tidak mau kalah sama mamak-mamak tua yang
cerewet itu.
“Eh Nak, mau kulempar pakai ini? Mau?
Pergi!” Sambil mengunyah sirih, ia menjambak setumpuk kaki ayam dan mengancam.
Mata Nariah semakin mengecil. Ibu ini mencurigakan.
“Tolong! Tolong!” Ia tidak punya pilihan lain selain melakukan sesuatu yang
licik. Nariah menjatuhkan pantat ke tanah sambil menjerit minta tolong. Hanya
dalam beberapa detik, beberapa pedagang dan pembeli berlarian menghampiri. Mereka
membantu Nariah berdiri!
“Ada apa ini?” Teriak seorang Bapak.
“Ibu ini mendorong dan melemparku pakai
kaki ayam hanya karena aku bertanya dimana Nurhalijah. Soalnya, Nurhalijah
tidak sekolah.”
Semua mata berpindah pada Bu Tarso yang
semakin pucat. “Apa benar begitu, Bu?” Tanya seseorang.
“Mana ada. Ini anak orang kaya yang
sombong. Dia tiba-tiba datang ke sini dan meludah di atas daganganku.” Ucap Bu
Tarso sambil melotot.
Ternyata wanita tua itu pandai juga
bersandiwara.
“Ibu ini berbohong. Coba kalian tanya
dimana Nurhalijah! Masa dia tidak tahu anaknya dimana.”
Bapak yang berteriak tadi mendekat. “Iya
Bu. Nurhalijah dimana? Kenapa tidak sekolah?”
Bu Tarso menggaruk kepalanya. “Di rumah
lagi demam. Nurhalijah lagi Demam.”
“Bohong. Aku kemarin dari rumahmu,
Nurhalijah tidak ada.”
“Will, William!” Bu Tarso tiba-tiba
menoleh ke segala arah sambil berteriak memanggil seseorang yang bernama
William.
Dari jauh, dari lokasi pedagang sayur di
ujung pasar, seseorang berlari. Astaga, Itu adalah kakak Nurhalijah yang
kemarin. Dia langsung melotot, hidungnya naik turun seperti singa yang sedang
mengendus bau musuh. “Kenapa Bu?” Tanya Will.
“Anak ini kemarin dari rumah? Dia menuduh
ibu telah menyembunyikan Nurhalijah.”
“Nggak.” Will menggelengkan kepala. Dia mendekat
dan memperhatikan wajah Nariah. “Oh, Ini adalah anak Pak Basuki yang rumahnya
gede di jalan Nanas. Anak ini memang agak...” Will tidak melanjutkan kalimatnya
melainkan menaruh jari telunjuk miring di keningnya. Artinya, dia telah
mengatakan kalau Nariah ada kurang-kurangnya, agak gila.
Orang-orang percaya begitu saja. Mereka
bubar sambil mengeluh. Bahkan ada yang berkata, kasihan yah Pak Basuki, kaya
raya, punya anak satu, tapi gila.
“Aku akan melaporkan kalian ke kepala
sekolah.” Nariah mengancam.
Bu Tarso seperti berbahasa isyarat. Dia
mengerucutkan bibir dan mengernyitkan matanya bersamaan. Tiba-tiba Will menarik
kunci motor Nariah.
“Naik cepat!” Bentaknya
Tentu saja Nariah tidak mau. “Berikan
kunci motorku!” Teriak Nariah sambil berusaha merebut. Orang-orang kembali
memperhatikan mereka.
“Naik! Aku akan mengantarkanmu ke rumah
Pak Basuki.”
“Eh, aku tidak butuh diantar. Sini,
berikan kunci motorku!” Nariah menunjuk wajahnya dan lalu berusaha merebut
kunci.
Bapak yang tadi, mendekat lagi. “Nak
pulang yah! Nanti Bapakmu kecarian. Kasihan Bapakmu, Nak!” Dia benar-benar
memperlakukan Nariah seperti orang gila.
Tiba-tiba, Bu Tarso menarik kancing bajuku
dan menampar wajahku.
“Anak ini memang harus dikasarin dulu baru
nurut. Pak Basuki juga melakukan itu. Naik!” Gertak Bu Tarso sambil menampar
wajahku sekali lagi.
Aku berteriak dan menampar balik wajahnya.
Dia hampir jatuh. Beberapa orang langsung memegang tanganku, memutarnya ke belakang
dan menyakitkan. Aku berteriak tapi mereka tidak peduli. “Pulang!” Bentak Bapak
yang tadi.
“Iya, iya, lepaskan tanganku!” ucapku
meringis kesakitan. Aku naik ke motor dan Will langsung mengebut.
Belum seratus meter dari pasar, aku
memukul punggungnya. “Berhenti!” Aku memukul dan mencubit pinggangnya sekuat
tenaga.
“Bangsat, hentikan goblok! Kau mau jatuh?”
Ia membalas berteriak sambil mengemudi tidak teratur. Aku tidak peduli dan
harus turun dari motor itu. Entah kemana dia akan membawaku, bisa saja dia akan
membawaku ke semak-semak dan memperkosaku. Mumpung, masih jalan raya dan masih
ada rumah-rumah di pinggir jalan. “Berhenti!” Teriakku sambil mencubitnya lebih
kuat.
“Aaargh,” Dia berteriak, melepas tangan
kirinya dari stang motor dan berusaha menarik tanganku dari pinggangnya. Ia
juga menyiku payudaraku.
Aku tidak peduli, tidak mau melepaskan.
Dia semakin berteriak dan tiba-tiba saja, motor terjatuh. Kejadiannya begitu
cepat, motor itu menyeret tubuhku hampir satu meter, membuatku terbaring di
aspal. Sementara, Will sempat melompat dan tidak apa-apa.
Tidak ada kendaraan yang berhenti. Will
mengangkat motor dan membantuku berdiri. Lututku berdarah dan menerbitkan perih
yang tidak seberapa. Aku masih kuat berdiri dan bahkan masih kuat melawan
seandainya Will berusaha memperkosaku.
“Sekarang berikan kunci motorku!”.
“Kau ingin melihat Nurhalijah kan? Aku
akan membawamu ke tempatnya!” Will mencuri pandang pada lututku yang berdarah.
“Aku sudah tidak peduli. Aku mau pulang.
Sekarang berikan kunci motorku!” Suaraku mulai naik kembali.
“Kau naik angkot saja. Aku akan
mengantarkan motor ini ke rumahmu dan mengadukanmu ke Pak Basuki. Kau telah
mengganggu ibuku berjualan. Kau bahkan menamparnya.”
Apa? Itu tidak bisa terjadi. Bukan karena
mengganggu Bu Tarso atau menamparnya. Bapak tidak akan peduli, bahkan bila aku
membunuhnya sekalipun. Tapi, Bapak akan membunuhku bila si William ini datang
ke rumah.
“Antar aku menemui Nurhalijah saja!”
ucapku sambil duduk marah. Setelah motor berjalan, angin menyisir luka gores di
lututku, perihnya semakin terasa.
Will berkendara cepat menuju rumahnya.
Tetapi di tengah jalan, sekitar 2 kilometer sebelum rumah, motor
berhenti. Will turun duluan dan langsung berjalan ke semak-semak, sepertinya
itu adalah jalan menuju ke sawah.
“Kau mau kemana?” Aku tidak mau turun dari
motor.
“Kau mau bertemu Nurhalijah kan?” Ia tidak
berhenti dan terus melangkah membawa kunci motor.
Aku tidak punya pilihan dan terpaksa
mengikutinya. Dia seperti tentara, punya betis yang besar dan pantatnya juga besar.
Ia punya lengan tangan yang berotot dan kulitnya hitam kemerahan karena
terbakar matahari.
“Cepat!”
“Tunggu sebentar. Apakah kau tidak bisa
berjalan sedikit lebih lambat?”
“Aku tidak tahu kenapa kau begitu
penasaran ingin melihat Nurhalijah. Apakah kau disuruh seseorang? Aku tahu
anak-anak di sekolah selalu menghindarinya, memperlakukannya seperti binatang.
Apakah kau berusaha menemukannya supaya kalian kembali memiliki anak yang bisa
dihina-hina?”
“Apakah Nurhalijah mengatakan hal itu
kepadamu?”
“Dia tidak perlu bercerita. Aku tahu
bagaimana keadaan di sekolah.”
“Berarti sikapmu lah yang seperti itu. Kau
selalu berpikir kalau orang yang memiliki kebiasaan aneh adalah orang yang
pantas untuk dihina.”
Dia tiba-tiba berhenti, memutar kepalanya,
menatapku dengan marah sambil mengepalkan tangan. “Aku tidak pernah menghina
orang,” ucapnya.
Aku diam. Sedikit takut melihat bibirnya
yang bergerak-gerak seolah ingin memakan aku hidup-hidup. “Kalian
menyembunyikan Nurhalijah dimana? Aku pikir ini bukan jalan menuju rumah.” Aku
berusaha mengalihkan amarahnya untuk memikirkan jawaban pertanyaanku.
“Ikut aku!” Dia melangkah ke semak
belukar.
“Apa? Aku tidak mau. Apa yang akan kau
lakukan padaku?”
“Aku tidak akan memperkosamu. Aku punya
banyak cewek di pasar. Wanita sepertimu tidak masuk hitungan. Ayo cepat!”
Aku kesal setengah mati mendengar
ocehannya pria itu. Kakiku berat melangkah, masuk sekitar 10 meter ke
semak-semak dan berhenti satu meter sebelum William.
“Duduk di sini!” ucapnya menunjuk rumput
di depan kakinya. Semak belukar menutupi tempat itu, hanya menyisakan sedikit
ruang kosong persis seperti tempat peristirahatan gajah.
Aku mengamati wajahnya, berusaha membaca
apakah ia menyembunyikan sesuatu? Apakah ia merencanakan sesuatu yang jahat?
Tapi, wajah itu tidak menunjukkan apapun selain kearoganan. Tatapan matanya
selalu menyala.
“Aku tidak akan memperkosamu. Aku tidak
tertarik pada wajah standar mu itu. Duduk di sini dan aku akan menunjukkan
sesuatu kepadamu.”
Aku menurut. Kupikir walaupun orang ini
lebih menyeramkan dari penjambret yang sering berkeliaran di pasar. Tapi, Ia
sepertinya tidak memiliki maksud jahat padaku. Dia pasti tahu kalau aku
melakukan semua ini demi adiknya.
Aku duduk jongkok di depannya. Dia
menyibak semak belukar di sebelah kiri. Dari tempat itu terlihat sawah dan
sebuah rumah yang berdinding kayu.
“Itu rumah Pamanku. Dia seorang tabit.
Untuk sebulan kedepan, Nurhalijah akan tinggal di sana.” Suara Will berubah
menjadi lebih pelan.
“Ngapain dia di sana?”
“Berobat, supaya kalian berhenti menghina
dia.”
“Aku tidak pernah menghinanya.”
Will tiba-tiba duduk menatap mataku dari
jarak satu jengkal, “Kau yakin tidak pernah menghinanya?”
Aku menggelengkan kepala.
Jujur saja, tatapan itu agak aneh. Ada
sesuatu di matanya yang membuat darahku menjadi hangat. Meskipun ia jahat dan
tidak memiliki kesensitifan hati sedikitpun, tapi wajah itu sepertinya
menyembunyikan jutaan petualangan.
Ibuku pernah berkata bahwa Laki-laki yang
paling menarik adalah mereka yang memiliki jutaan petualangan. Dulu aku tidak
mengerti apa arti kalimat itu. “Maksud ibu?” Tanyaku. “Bila laki-laki telah
melalui banyak cobaan hidup, bila mereka telah mengunjungi banyak tempat dan
mengesampingkan ketakutannya, bila mereka telah meniduri banyak gadis tanpa
takut akan dipukuli Bapaknya, maka laki-laki itu akan semakin menarik.
Laki-laki yang menyembunyikan jutaan petualangan adalah mereka yang paling
misterius.”
“Apakah aku setampan itu?” Tiba-tiba, Will
bertanya sambil mengusap kasar rambutku.
Aku mendorong tangannya dan membuang muka.
“Aku tahu kau menyukaiku. Sayangnya bukan
hanya kau saja yang tergila-gila padaku. Bahkan ibu-ibu di pasar rela
memberikan uangnya supaya bisa menghisap penisku.” Ia berkata seperti berbisik
tepat di depan wajahku.
Bibirku mengerucut kesal.
“Kalau kau mau aku bisa menunjukkan
penisku padamu. Gratis.”
Mataku terbelalak, sombong sekali orang
ini. “Aku ingin bertemu dengan Nurhalijah!” ucapku mengalihkan topik
pembicaraan.
“Kau yakin mau bertemu dengan paman
Bernat? Dia punya kebiasaan aneh bila bertemu dengan gadis cantik. Dia akan
membacakan mantranya. Setelah dia membacakan mantranya, kau akan tergila-gila
padanya. Perlu kau ketahui, dia sudah tua dan bahkan saat ia berbicara,
ludahnya sering sekali meleleh.”
“Apakah aku secantik itu?”
“Aku tidak pernah berkata kau cantik.”
“Tadi, kau bilang bila pamanmu bertemu
gadis cantik.”
“Itu hanya perumpamaan, bukan berarti kau
cantik.”
“Kau pasti telah jatuh cinta padaku. Iya
kan?”
Dia mengerutkan kening dan mengecilkan
matanya. “Kau masih mau bertemu dengan Nurhalijah?” Dia bertanya membuang muka.
Sepertinya mencoba mengalihkan topik. Tentu saja aku tertawa kecil dan itu
membuatnya semakin kesal. “Aku tidak pernah berkata kalau kau cantik! Kau itu
benar-benar menjijikan, aku tidak suka hidungmu, matamu, pipimu dan payudaramu
terlalu kecil.”
“Terimakasih telah memperhatikan tubuhku
sedetail itu.”
Dia mendengus marah, mengepalkan tangan
dan berjalan ke arah motor.
Rumah Pamannya itu benar-benar seperti
rumah di film-film horor, dindingnya tanpa cat, rumput di halaman rumah
setinggi mata kaki. Kurasa tidak pernah ada seorang pun yang bermain-main di
halaman rumah itu. William mengetuk pintu dan dibuka oleh Paman Bernat yang
sebenarnya lebih cocok dipanggil kakek daripada Paman. Tetapi, karena Will
memanggilnya Paman, aku jadi ikut-ikutan memanggilnya Paman. Dia punya jambang
putih yang panjang dan kalau dia berbicara ludahnya muncrat. Dia sudah bungkuk
karena tua dan matanya berkeriput, bicaranya selalu lambat, seolah ada dahak di
tenggorokannya. Tapi, sikapnya tidak jauh berbeda dengan Will.
“Nariah?” Nurhalijah muncul dari dapur dan
langsung menarik tanganku untuk duduk di kursi kayu, di depan tv, yang
sepertinya sudah rusak karena terlihat berdebu.
“Boleh aku memegang kakimu?”
“Nurhalijah!” Paman Bernat langsung membentak.
“Kau benar-benar belum berubah?” Will
berdiri melipat tangan memperhatikan kami berdua. Aura wajahnya tampak senang.
Sepertinya ia baru yakin kalau aku tidak pernah menyakiti Nurhalijah
setelah melihat kedekatan kami.
“Orang tua itu punya kebiasaan aneh!”
Bisik Nurhalijah di telingaku. Paman Bernat sudah kembali ke dapur.
“Jangan berbisik. Itu tidak sopan!” Will
mengingatkan sambil berjalan kesal ke arah dapur, sepertinya ingin berbicara
dengan Paman Bernat.
“Kebiasaan aneh?” tanyaku.
“Dia punya boneka kayu di dalam kamarnya.
Boneka kayu perempuan yang selangkangannya di lubangi.”
Keningku berkerut, “Maksudmu?”
“Kupikir paman bercinta dengan boneka
kayu. Aku sering mengintipnya. Dia mengocok penisnya sampai tegang dan setelah
tegang dia meniduri boneka kayu itu. Dia mendesah-desah seperti orang yang
kesurupan. Dia itu orang tua yang kesepian. Kalau tidak salah, lima hari
setelah menikah, istrinya kabur dari sini dan tidak pernah kembali. Aku sudah
tidak tahan.” Nurhalijah tiba-tiba turun dari kursi dan memegang pergelangan
kakiku.
“Apakah dia pernah menyakitimu?”
“Tidak. Tetapi dia itu sangat
menjengkelkan. Kurasa dia sering mengintipku mandi.”
Mataku terbelalak. “Kau yakin?”
Suara langkah kaki mendekat. Buru-buru,
Nurhalijah duduk kembali, ia takut dimarahi karena memegang kaki. Yang muncul
adalah Will.
“Aku belum pernah melihatnya. Tetapi aku
yakin kalau dia memang suka mengintipku mandi.”
“Siapa dan melakukan apa?” Tanya Will
melotot. Sepertinya, ia sudah terbiasa berbicara kasar pada Nurhalijah meskipun
bukan berarti dia membenci adiknya itu.
“Tidak ada.” Jawab Nurhalijah
mengerucutkan bibirnya. “Penis Paman sangat besar. Aku pernah memegangnya.”
Nurhalijah mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik pelan. Mataku hampir
meloncat mendengarnya.
“Kau jangan terlalu percaya padanya. Dia
suka berimajinasi. Bukankah kau sudah mengetahui kebiasaan buruknya, memegang
kaki itu adalah perintah dari teman khayalannya.”
“Memegangnya?” Aku bertanya berbisik.
“Bisakah kalian untuk tidak
berbisik-bisik!” Gertak Will, dia pasti penasaran setengah mati.
“Ada satu rahasia lagi. Setelah jam satu
malam, saat dia sudah tidur pulas, aku selalu keluar dari kamar untuk memegang
kakinya. Pernah sekali, saat aku masuk ke kamarnya, dia telanjang bulat dan
penisnya berdiri seperti tongkat, aku memegangnya dan mengocoknya naik turun.
Kau tahu ternyata sperma itu seperti susu. Dia mengeluarkan itu dan hampir
menyemprot wajahku.”
“Aku tidak percaya kau melakukan itu.”
“Aku penasaran.”
Will melotot dengan bibir yang mengerucut.
“Apakah kalian ngomongin aku?”
Nurhalijah mengecilkan matanya, “Apaan
sih? Ini rahasia perempuan. Lagian, apa kelebihanmu sehingga harus kami
omongin?”
Aku belum pernah melihat Nurhalijah
sebebas itu. Maksudku, di kelas dia selalu tertekan tetapi di rumah, dia jauh
lebih hidup dan jauh lebih berani.
Bab 2
Hari Minggu aku libur. Ayah pergi entah
kemana sejak hari jumat dan belum pulang. Masak sarapan untuk diri sendiri itu
tidak menyenangkan. Tetapi, kalau tidak masak mau makan apa? Setelah sarapan nasi
dan telur dadar. Aku duduk bengong di dalam rumah.
Jam sembilan pagi, aku memakai rok
berbahan jeans sepaha dan kaos panjang tangan, bermotif stripe putih dan biru
yang ujungnya kumasukkan ke dalam rok. Aku tidak mau mati kesepian dan
kuputuskan untuk berjalan ke belakang rumah. Banyak bekas galian tanah yang
sudah ditutup di sana. Ayah mengubur banyak hal di sana. Mereka dikubur
berjejer, jumlahnya ratusan, dan sebagian dari mereka mungkin sudah tertindih.
Itu menakutkan. Berdiri mengamati tempat itu membuatku merinding.
Buru-buru, aku berjalan ke ujung halaman
belakang. Ada pintu besi disana, mengarah ke jalan setapak yang dikelilingi
Ilalang. Aku menarik paksa engsel pintu itu dan berjalan keluar. Sekitar
seratus meter dari belakang rumah, ada peternakan kerbau yang ditumbuhi
rumput manis. Lahan itu sudah lama kosong, sejak Pak Rinto yang rumahnya
diujung itu, meninggal.
Rumah itu belum kosong, setahuku istri Pak
Rinto, Bu Nadia dan dua orang anaknya masih tinggal di sana. Anaknya ada yang
seumuran denganku, namanya Virda. Sementara Toni, kakak Virda, sekitar tiga
tahun di atasku. Tapi, mereka adalah jenis orang yang tertutup.
Maksudku, mereka sangat jarang bergabung
dengan warga desa. Ayahku sesekali masih menghadiri rapat, keluarga Pak Rinto
sama sekali tidak pernah mau bergabung. Mereka punya jalan sendiri, dari
samping kanan rumahnya, tembus ke jalan Desa Ciamber 2.
Ketika Pak Rinto meninggal, mereka lah
yang menguburkannya. Orang desa baru tahu kalau Pak Rinto meninggal setelah
melihat nisan-nya di kuburan.
Virda itu laki-laki, namanya memang
terkesan seperti perempuan. Terakhir, kali aku melihatnya saat masih berusia
sembilan tahun. Waktu itu, aku dan Ibu sedang mencari rumput yang katanya bisa
dijadikan obat bisul. Saat kami lewat dari depan rumahnya, Virda tersenyum
padaku. Tapi, Ibunya, Bu Nadia langsung marah dan menarik Virda ke dalam rumah.
Suara tangis Virda terdengar sebelum kami menjauh.
“Keluarga Pak Rinto itu sangat aneh.
Menakutkan!” Ucap Ibu kesal setelah kami sampai di rumah.
“Kenapa?” Ayah bertanya.
“Itu, Bu Nadia! Kami lewat dari depan
rumahnya, anaknya langsung ditarik. Seolah-olah kami ingin menculiknya.” Ibu
mengomel, dia menatapku,“Nariah, jangan pernah berkunjung ke rumah itu! Jangan
pernah bergaul dengan kedua anaknya! Mereka itu dikucilkan warga karena
menyimpang.”
Bapak malah tertawa dan berjalan ke dapur.
Keningku berkerut, “Menyimpang?”
“Kamu akan mengetahuinya setelah dewasa.”
Tadi malam adalah ulang tahunku. Kata
orang-orang, ulang tahun ke-17 itu seharusnya dirayakan dengan meriah. Itu
ulang tahun yang menyedihkan.
Sekarang, aku sudah cukup dewasa untuk
mengetahui lebih banyak hal. Sudah lama, aku berniat untuk berkunjung ke rumah
Bu Nadia, tetapi mengingat apa yang ibu katakan dulu, niat itu selalu ku
urungkan. Sekarang, aku sudah cukup dewasa untuk menyelidiki arti kata ‘mereka
dikucilkan karena menyimpang’ itu. Mungkin, aku bisa mencari petunjuk di
sekitar rumah Bu Nadia.
Aku mengintip ke dalam rumah dan menemukan
Toni sedang duduk di sana.
“Apakah
aku boleh masuk?” Aku berdiri di pintu. Rumah itu tidak terlalu bersih, banyak
pasir di lantai dan aroma baju busuk semakin tercium.
“Rumahku tidak sebagus rumahmu.” Toni
duduk di kursi kayu, di depan dinding sebelah kiri rumahnya.
“Aku tidak apa-apa. Rumahku juga tidak
bersih-bersih amat.”
“ Masuk saja dan jangan ribut. Kau harus
mengecilkan suaramu.”
“Kenapa? Bukankah hanya kau saja yang ada
di rumah.” Aku masih di pintu.
“Virda ada kamar.”
“Virda?” suaraku semakin pelan. Aku
melangkah masuk dan berdiri di depannya. Toni duduk mengangkat kaki kirinya ke
atas dudukan kursi, membuang pandang, seperti orang yang sedang memikirkan
sesuatu. “Virda sudah lama sakit.”
“Sakit?”
“Kau kebanyakan bertanya.”
Keningku berkerut. “Apakah sakitnya
parah?”
“Tunggu sebentar!” Toni berdiri dan
mengambil kaos putih. Lalu Ia berjalan ke belakangku dan mencekik leherku
dengan kain.
“Apa yang kau lakukan?” Aku membentak dan
menampar tangannya.
“Kau harus menutup hidungmu. Virda sakit
TBC dan kau bisa tertular.”
“Sakit TBC? Apakah kau sudah membawanya
berobat? Tubuhku cukup kuat, TBC tidak akan mempan padaku. Aku ingin
melihatnya. Bolehkan?”
“Apakah kau selalu berbicara seperti itu?
Kau mengatakan terlalu banyak hal di saat yang bersamaan. Kau tidak akan
menutup hidungmu?”
Aku menggelengkan kepala, menutup hidung
dengan kaos berbau aneh itu mungkin lebih berbahaya daripada TBC.
Toni melangkah ke arah dapur dan masuk ke sebuah kamar. Aku mengikutinya. Mataku terbuka lebar. Seorang pria kurus kering hanya memakai celana dalam putih yang kusam terbaring di atas kasur